Sabtu, 14 Mei 2011

Undang-Undang Anti Monopoli dan Dampaknya Terhadap Bisnis Usaha Kecil dan Menengah

Undang-Undang No 5 Tahun 1999,

mengenai Anti Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat sudah (atau baru) berusia lima tahun. Untuk sebuah undang-undang dapat dikatakan masih muda, tapi kalau dilihat dari perkembangan kehidupan masyarakat yang sangat dinamis saat ini, maka lima tahun dirasa cukup lama.

Sudah tentu masyarakat sudah menunggu-nunggu hasilnya. Pembahasan UU No 5/1999 di DPR berlangsung pada awal Era Reformasi, tetapi masih dalam konstelasi politik Orde Baru. Lahir di saat masyarakat dan bangsa kita merasakan pahitnya dampak konglomerasi perusahaan-perusahaan. Maraknya perekonomian monopolistik yang ditimbulkan karena adanya kolusi penguasa dan pengusaha. Demikian juga dengan meningkatnya laju globalisasi telah mempengaruhi lahirnya undang-undang ini.

DPR yang terkesan populis pada waktu itu menginginkan judul yang tegas "anti-monopoli" sedangkan pemerintah lebih berorientasi kepada pembentukan kondisi "persaingan usaha yang sehat", yang akhirnya dicapai kompromi (kebiasaan putusan politik) dengan judul yang kita miliki sekarang.

Politik dan pembahasan pada waktu itu didominasi oleh pemikiran-pemikiran dekonsentrasi, yang kemudian jadi jiwa dari undang-undang tersebut. Tetapi kita ketahui bahwa persaingan usaha yang sehat bukan hanya ditentukan dan diatur oleh UU No 5/1999 saja, tetapi juga ditentukan oleh undang-undang lainnya, kebijakan pemerintah, maupun keputusan pengadilan.

Undang-undang lahir karena ada kebutuhan, yang bisa berubah dan berkembang dari waktu kewaktu. Amerika, Eropa, maupun Asia mempunyai alasan yang berbeda sewaktu melahirkan ataupun mengubah undang-undang anti-monopoli. Di Amerika Serikat Anti-Trust Law lebih berorientasi kepada inovasi teknologi dan dipakai sebagai technology policy. Sejak lahirnya pada tahun 1890, sudah mengalami perubahan beberapa kali.

Keadaan ekonomi, pemikiran politisi anggota kongres, dan kebijakan presiden/pemerintah, serta pendekatan pemikiran scholars yang berbeda telah mendorong terjadinya penyesuaian undang-undang tersebut.


Sejak lahirnya pada tahun 1890 Anti Trust Law telah melewati periode-periode yang berbeda.

Tahun 1890-1930 merupakan The Formative Period;

1930-1970 The New Deal Order;

1970-1990 Consolidation of Chicago School;

dan mulai 1999 timbul kritik terhadap pemikiran Chicago School (David M Hart, Harvard University).


Tapi pada dasarnya perubahan-perubahan tersebut timbul karena adanya pandangan mengenai inovasi teknologi dari paradigma concentration menjadi deconcentration dan sebaliknya.



---dampaknya terhadap bisnis usaha kecil dan menengah--

Di satu sisi UU No 5/1999 mengamanatkan dekonsentrasi (berlaku bagi konglomerat?), tetapi di sisi lain terutama bagi BUMN/BPPN terjadi proses konsentrasi.Kita memang dihadapkan kepada kenyataan bahwa perusahaan yang kita miliki baik swasta maupun BUMN dapat dikatakan masih kecil (dalam ukuran dunia). Dengan terjadinya krisis ekonomi yang kita hadapi, keuangan negara menjadi makin kecil atupun tidak ada sama sekali untuk mengembangkan perusahaan.

Perusahaan-perusahaan yang berada di bawah pengelolaan BPPN pada waktu itu, termasuk perbankan, satu per satu "dijual". Khususnya dalam perbankan terjadi gelombang merger. Bank Mandiri merupakan gabungan Bank Exim, Bapindo, Bak Bumi Daya, dan yang lain.

Demikian juga dilingkungan BUMN, pabrik Semen Padang dan Tonasa digabung dengan Semen Gresik, kemudian sebagian sahamnya dijual kepada perusahaan asing. Dua persero perdagangan (Dharma Niaga dan Panca Niaga) digabung menjadi PT PPI. Di sisi lain juga terjadi pemisahan, seperti PT MNA dikeluarkan kembali dari Garuda. PT Pakarya Industri (dulunya BPIS), yang merupakan holding company BUMNIS, dibubarkan dan perusahaan-perusahaan yang terkait dikembalikan sebagai BUMN yang mandiri (DI, Pindad, PAL, Inka, KS, Inti, LEN, dan Dahana).

Dengan terbatasnya keuangan negara timbul gelombang penyertaan swasta dalam pembangunan infrastruktur, dinamakan kemitraan (bukan swastanisasi). Berbagai ragam kemitraan telah dikembangkan, seperti BOT, BOO, BTO, BLT, KSO, KSM, dan lainnya. Contoh jalan tol, telekomunikasi, kilang minyak, air minum, dan lain-lain.

Upaya lain juga terjadi dengan cara unbundling. Hanya bagian-bagian pengusahaan tertentu yang akan diswastakan. Misalnya PLN hanya bagian pembangkit tenaga listrik; pelabuhan hanya bagian terminal kontainer.

Isu yang menonjol di dalam negeri adalah sekitar duopoli Indosat dan Telkom dalam telekomunikasi. Puncaknya ialah penjualan saham Indosat kepada STT Singapura, pada tahun 2002. Dengan memiliki saham Indosat, berarti juga menguasai perusahaan IM3 dan Satelindo. Selain itu kelompok STT juga menjadi mitra Telkom di wilayah Indonesia Timur dalam rangka KSO. Banyak pihak telah menyatakan kepeduliannya terhadap penjualan Indosat kepada STT Singapura, termasuk KPPU, tapi penjualan saham Indosat jalan terus. Bagaimana peranan Badan Pertimbangan Telekomunikasi?

Infrastruktur bukan komoditi biasa (private goods), melainkan public goods, jadi penanganannya pun harus lain. Karena di dalamnya selalu melekat natural monopoly dan implikasinya yang cross sectoral. Di sini KPPU harus cermat melakukan "pengawasan".


sumber :

leapidea.com/presentation?id=39

halim-livinglaw.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar